Assalamu'alaikum waroh matullohi wabarokatuh
Salam Ukhuah dari Darus-Razka
berikut sekelumit Kisah Cinta Rasululloh dengan Khadijah,,, semoga bermanfaat
Siapakah khadijah
Dia adalah Khadijah r.a, seorang
wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh
masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang
pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau
melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin
menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun
selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari
turun kerumahnya
Pada suatu malam ia bermimpi
melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan
sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang
luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada
sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur
lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa
purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh
Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari
mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir
zaman.” “Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
“Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku
Quraisy juga.” Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari
keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir:
“Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu mempertegas:
“Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan
perasaan yang luar biasa gembiranya.Belum pernah ia merasakan kegembiraan
sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari
manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran dari khadijah kepada
Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah
Khadijah. Wanita usahawan itu berkata
Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah
apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan
diri tapi tahu harga dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus
terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga
memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat
memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita
hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad,
upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan
yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan
calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan
suara memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu
dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh
banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya.
Kepadanyalah aku hendak membawamu”.
khadijah (Khadijah tertunduk lalu
melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami.
Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab.
Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing.
Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab.
Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim
itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin
itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh
Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk
pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah SAW: “Aku merasa amat
tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng
dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan
oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita
itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya
menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian,
aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a
dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan
kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu
menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya.
Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri
menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup
menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa
dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia
menikah dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari
Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama
cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah
diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan:
“Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah
kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan
minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”,
Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah
takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan
seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan
tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira
itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua
riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”,
kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih
dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka
terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan
Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi
Khadijah itu bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau
masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada,
tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah “Bagaimana kalau seandainya
ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang
baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan
menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?”
tanya Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah
berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya
serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia
meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a,
menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima
pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah
r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima
belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang
kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang
utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah
ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia
memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping,
berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan
itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan
beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan
resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu
setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Rasulullah Muhammad SAW dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat.
Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan
menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang
luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya
luas”. “Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta
lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah
r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali
mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah
bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima
dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak
mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa
kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan
kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat
pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan
bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW
dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali
dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah
pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan
khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut:
“Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi)
Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar.
“Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya,
pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim
terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini,
Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga,
niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun
harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan
cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa
dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin
lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri
dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku
mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat
mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta
pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah
mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di
pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki,
mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman
kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu
bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai
Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah,
barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas
membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT
yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa:
Alangkah bahagianya kedua pasangan
mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad
SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik
menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak
ada duanya, bercerai karena kematian.
Semoga bermanfaat untuk bekal kita berumah Tangga, Insya Alloh Wallohu'alam Bisshowab
Wassalamu'alaikum
Darus-Razka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar